Powered by Blogger.

psikologi dakwah : teori psikologi dalam pelaksanaan dakwah/ teori psikoanalisa, behaviorisme, kognitif, humanistik

Ilustrasi : Psikologi Dakwah / google



BAB I PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG

Seorang da’i suatu ketika pasti berhadapan dengan karakteristik manusia yang berbeda-beda dan dalam situasi yang berbeda-beda pula. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh faktor-faktor personal maupun situasional, faktor internal maupun faktor susiokultural. Oleh karena itu, pangetahuan tentang kaakteristik manusia sangat membantu tugas-tugas seorang da’i. 

Manusia dakwah terdiri dari da’i dan mad’u. Seorang da’i yang psikologi berkepentingan untuk mengetahui bagaimana mad’u (manusia) memproses pesan dakwah serta bagaimana cara berfikir dan melihat mereka, dipengaruhi oleh lambang-lambang yang dimiliki. Pengetahuan tentang karakteristik manusia juga di perlukan misalnya oleh seorang penyelenggara kegiatan dakwah (yang sebenarnya dapat masuk kelompok da’i atau mad’u) ketika harus menentukan siapa da’i yang akan diundang. 

Jika fokus psikologi dakwah adalah manusia yang terlibat dalam komunikasi dakwah maka dalam hal ini yang harus diketahui adalaah karakteristik manusia sebagai komunikan, yakni faktor-faktor apa yang mempengaruhi tingkah laku mereka dalam berkomunikasi.

Pernyataan tentang apa hakikat manusia sebenarnya merupakan pertanyaan kuno. Sepanjang sejarah manusia, pernyataan tentang hakikat manusia selalu muncul, dan jawaban yang diberikan oleh teori-teori hanya dapat memuaskan sebagian manusia pada zamannya. Pada generasi berikutnyaakan muncul teori baru yang mengkritik teori terdahulu dan memberikan teori yang dianggapnya lebih benar. Begitulah seterusnya hingga sekarang, teori tentang manusia tetap menarik untuk dibicarakan baik dalam konteks operational. Manusia :mahkluk budaya(madaniyyun bi at thob,i).


BAB II PEMBAHASAN

A. Teori Psikoanalisa

Tokoh dari teori ini adalah Sigmund Freud. Fokus perhatiannya ditujukan kepada struktur manusia, yakni kepada totalitas kepribadian manusia, bukan pada bagian-bagiannya yang terpisah. Menurut teori psikoanalisa, perilaku manusia merupakan hasil interaksi dari subsistem dalam kepribadian manusia, yaitu Id, Ego, dan Superego. Manusia dalam teori psikoanalisa disebut sebagai Homo Volens, artinya manusia berkeingianan, yakni makhlk yang perilakunya digerakkan oleh keinginan-keinginan yang terpendam.

Penjelasan tentang tiga subsistem kepribadian manusia menurut teori psikoanalisa ini adalah sebagai berikut:

1) Id.

Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia. Id merupakan pusat instink, atau pusat hawa nafsu menurut bahasa agama. Menurut Freund, ada dua instink yang dominan pada subsistem id ini, yaitu libido dan thanatos.

a. Libido


Libido merupakan instink reproduktif yang menyediakan energi dasar untuk kegiatan-kegiatan manusia yang konstruktif, seperti seks dan hal –hal lain yang mendatangkan kenikmatan , termasuk kasih ibu, pemujaan kepada tuhan dan cinta diri( narcisisme). Tingkah laku manusia memakai baju, menyisir rambut dan lain sebagainya, menurut teori ini adalah karena dorongan seks. Bahkan mengapa pemuda kuliah di perguruan tinggi adalah juga karena dorongan libido seks, yakni agar status sosialnya tinggi dan dengan begitu peluang mencari istri lebih mudah . libido juga disebut instink kehidupan(Eros).

b. Thanatos 
Thanatos adalah instink destruktif dan agresif. Dorongan-dorongan untuk melawan dan merusak bersumber dari instink ini. Motif-motif manusia kehidupan dan instink kematian.Id seperti halnya hawa nafsu ingin segera memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang bersifat kesenangan. Id memang bergerak berdasarkan prinsip kesenagan (pleasure princple). Karena prinsip-prinsip kesenangan yang selalu ingin dipuaskan itulah maka Id sifatnya egois, tidak bermoral dan tidak peduli terhadap realitas. Id adalah tabiat hewani manusia.

2. Ego 

Ketika seorang pemuda terserempet mobil ugal-ugalan, maka id nya (baca: hawa nafsu) ingin memukul kepada sopir yang kurang ajar itu. Tetapi ketika diketahui sopir ugal-ugalan itu ternyata anak yang selama ini menolong membiayai studi anak muda itu maka ketika itu ego bekerja menjembatani nafsu yang tidak bermoral dan tidak peduli terhadap orang yang sudah dikenal akan berakibat serius di belakang jembatani tuntutan id dengan realitas di dunia luar . Ego menjadi penengah antara dorongan-dorongan hewani manusia dengan pertimbangan-pertimbangan rasional sesuai dengan realitas yang dihadapinya.

3. Superego.

Subsisitem yang ketiga ini dapat dikatakan mewakili hal-hal yang ideal. Superego menyerap norma-norma sosial dan kultural masyarakat. Ia bukan hanya rasioanal tapi juga atas prinsip-prinsip nilai dan sebagai pengawas kepribadian. Jika suatu ketika ego seseorang menuntut untuk menikahi seseorang gadis karena lamaran sudah diterima dan ia mampu untuk itu, tetapi di sisi lain orang itu bahwa gadis itu telah memiliki kekasih yang sangat dicintainya dan bahwa ia hanya terpaksa menuruti kemauan ayahnya yang mata duitan , maka superego akan menekan hasrat ego ke alam bawah sadar. Meski dengan kekuasaan seseorang akan merasa mampu mengatur perkawinan, tetapi hati nuraninya tidak sanggup menzalimi dua orang yang sedang berkasih-kasihan. Jika ia memaksa diri menikahi gadis itu tetapi kemudian sang gadis bunuh diri, maka ia akan merasa dihukum superego dengan penyesalan dan perasaan bersalah. Menurut freund, ego terkadang kepada superego. Baik id maupun superego berada di alam bawah sadar manusia, Ego-lah yang berada di tengah, yaitu antara memenuhi tuntutan moral (hati nurani atau superego).

Jadi, menurut teori psikoanalisa, tingkah laku manusia itu sebenarnya merupakan interaksi antara tiga subsistem itu, yaitu komponen biologis(ego) dan komponen sosial (superego) , antara unsur hewani, akali dan nilai atau moral.

B. Teori Behaviorisme

Jika psikoanalisa memfokuskan perhatiannya pada totalitas kepribadian, yakni apa yang ada dibalik tingkah laku manusia( yang tidak tampak), maka teori psikologi behaviorisme memfokuskan perhatiannya pada perilaku yang nampak saja, yakni perilaku yang dapat diukur, diramal dan dilukiskan . jadi, nampak sekali bahwa behaviorisme merupakan reaksi terhadap teori psikoanalisme. 

Manusia, oleh teori behaviorisme disebut homo mechanicus, artinya manusia mesin. Mesi adalah suatu benda yang bekerja tanpa ada motif di belakangnya. Mesin berjalan karena tidak adanya dorongan alam bawah sadar tertentu, ia berjalan semata-mata karena pasti tidak hidup, jika businya kotor juga mesinnya mati, jika unsur-unsur lingkungannya lengkap pasti berjalan lancar. Tingkah laku mesin dapat diukur , diramal dan diukiskan. Manusia, menurut teori behaviorisme juga demikian. Selain instink, seluruh tingkah lakunya merupakan hasil belajar. Belajar ialah perubahab prilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Orang batak yang hidupnya di pinggir pantai laut bicaranya selalu keras, karena lingkungan menuntut untuk keras, yakni bersaing dengan suara ombak, sedangkan orang jawa yang hidupnya diperkampungan yang lengang, bicaranya seperti bisik-bisik pun sudah terdengar.

Behaviorisme tidak mempersoalkan apakah manusia itu baik atau jelek, rasionil atau emosionil. Behaviorisme ingin mengetahui bangaimana perilaku manusia dikendalikan oleh lingkungan. Manusia dalam pandangan teori behaviorisme adalah makhluk yang sangat plastis, yang perilakunya sangat dipengaruhi oleh pengalaman nya. Manusia menurut teori ini dapat dibentuk dengan menciptakan lingkungan yang relavan. Seorang anak misalnya dapat dibentuk perilakunya menjadi seorang penakut jika secara sistematis ia ditakutt-takuti. Demikian juga manusia dapat dibentuk menjadi pemberani, disiplin, cerdas, dungu dan sebagainya dengan menciptakan lingkungan yang relavan.

Dalam teori ini manusia dipandang sangat rapuh tak berdaya menghadapi lingkungan. Ia dibentuk begitu saja oleh lingkungan tanpa mampu melakukan perlawanan. Aristoteles , yang di anggap sebagai cikal bakal teori behaviorisme memperkenalkan teori tabula rasa, yakni bahwa manusia itu ubahnya meja lilin yang siap dilukis dengan tulisan apa saja. Jika kita berpegang kepada kepada teori ini maka kita dapat mengatakan bahwa mahasiswa dapat universitasnya, dan untuk itu kurikulum serta alat-alat stimulasi bisa dirancang. 


Sudah barang tentu teori ini banyak juga yang mengkritik karena teori ini tidak dapat menjawab fenomena perilaku yang hanya bisa diuraikan dengan motif, misalnya bangaimna seseorang raja muda yang justru meninggalkan tahta hanya untuk hidup bersufi-sufi, ( sidarta gautama , atau ibrahim bin adham), atau para pendaki gunung yang mempertaruhkan nyawanya, atau pejuang yang melakukan serangan kamikaze (bunuh diri) dengan meledakkan dirinya bersama bom yang di bawanya.


C. Teori Psikologi Kognitif

Jika behaviorisme memandang manusia sebagai makhluk yang bersikap pasif terhadap lingkungan, maka psikoligi kognitif menempatkan manusia sebagai makhluknyang bereaksi secara aktif terhadap lingkungan, yakni dengan cara berpikir. Manusia berusaha memahami lingkungan yang dihadapinya dan meresponnya dengan pikiran yang dimilikinya. Oleh karena itu, maka manusia menurut teori kognitif ini disebut sebangai homo sapiens, yakni manusia yang berpikir.

Pusat perhatian teori kognitif adalah pada bagaimna manusia memberi makna kepada stimuli. Orang yang selalu di takut-takuti, misalnya tidak mesti menjadi penakut seperti yang menakutkan itu harus dilawan. Ia pu mungkin berpikir bahwa ingin membalik keadaan justru ingin membuat takut kepada orang yang suka menakut-nakuti. 

Jadi, menurut teori ini, manusia tidak secara otomatis memberikan respon kepada stimuli, tidak otomatis takut jika ada orang yang senyum kepadanya, tidak otomatiis patuh , bahwa orang yang menakut-nakuti itu memang orangnya kuat, apakah senyuman itu senyuman kasuh sayang atau senyuman gombal, apakah perintah atasan itu pantas dikerjakan atau tidak, dan sebagainya. Jadi, secara psikologis manusia adalah organisme yang aktif menafsirkan, bahkan mendistorsi lingkungan. 

Jika seseorang mendengar suara”ana” , mungkin saja ia menafsirkannya dengan ada (bahasa jawa), atau aku (bahasa arab), atau anak (dialek semarang), atau nama kepala SD assyafiiyyah ( Buk Anna). Jika anda melihat tulisan II, boleh jadi menafsirkan nya dengan dua huruf i, atau dua rumawi, atau dua tiang yang berdiri sejajar. Dalam pandangan teori kognitif, manusialah yang menjadi pemberi makna terhadap stimuli, manusialah yang menjadi pemberi makna terhadap stimuli, bukan stimuli itu sendiri. Words don’t mean, people mean, “ kata-kata tak mempunyai arti apa-apa, manusialah yang memberi arti”, demikian kata ahli komunikasi. 


D. Teori Psikologi Humanistik

Jika teori psikologi dan behaviorisme kurang menghargai manusia, karena dalam psikoanalisa, manusia dipandang hanya melayani keiginan bawah sadarnya, behaviorisme memandang manusia sebagai makhluk yang takluk kepada lingkungan, maka psikologi humanistik memandang manusia sebagai eksistensi yang positif dan menentukan. Manusia dipandang sebagai makhluk yang unik yang memiliki cinta, kreativitas, nilai dan makna dan makna serta pertumbuhan pribadi. Pusat perhatian teori humanisme, adalah pada makna kehidupan, dan masalah ini dalam psikologi humanistik disebut sebagai homo ludens, yaitu manusia yang mengerti makna kehidupan. 

Menurut teori psikologi humanistik ini, setiap manusia hidup dalam dunia pengalaman yang bersifat pribadi (unik) , dan kehidupannya berpusat pada dirinya itu. Perilaku manusia bukan dikendalikan oleh keinginan bawah sadarnya( seperti teori psikoanalisaa), bukan pula tunduk kepada lingkungannya ( seperti teori behaviorisme) , tetapi berpusat pada konsep diri, yaitu pandangan atau persepsi orang terhadap dirinya yang berubah-ubah dan fleksibel sesuai dengan pengalaman nya dengan orang lain. Seorang penjahat yang merasa hebat karena nekad dalam perbuatan jahatnya misalnya, karena pengalamannya dengan orang lain. Dengan jagoan lain yang lebih hebat tetapi baik perilakunya , dapat saja ia menemukan makna kehidupan, dan kemudian memiliki konsep diri bahwa ia pasti dapat mengubah dirinya menjadi orang baik.

Psikologi humanistik memandang positif manusia.menurut teori ini, manusia selalu berusaha untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas dirinya. Manusia juga cenderung ingin selalu mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan yang bermakna. Setiap individu bereaksi terhadap situasi yang dihdapinya(stimuli) sesuai dengan konsep diri yang dimilikinya, dan dunia di mana ia hidup. Kecendrungan bathianiah manusia selalu menuju kepada kesehatan dan keutuhan diri. Jadi, dalam keadaan normal, manusia cenderung berperilaku rasional dan membangun ( konstruktif). Ia juga cenderung memilih jalan ( pekerjaan, karier, atas jalan hidup) yang mendukung pengembangan dan aktualisasi dirinya.

Dalam kehidupan keseharian, terkadang kita jumpai seorang gadis dari keluarga kaya, tapi justru memilih menjadi guru SD di kampung terpencil, seorang mahasiswa yang cerdas tapi justru aktif dalam kegiatan sosial di daerah kumuh sampai studinya tertinggal oleh kwan-kawanya yang kurang cerdas, seorang pengusaha sukses yang kemudian lebih senang menjadi da’i dan sebagainya. Fenomena itu dipandang positif oleh teori humanistik, apa yang mungkin dipandang tak lebih sekadar mengikuti dorongan libido dan teori psikoanalisa, atau sekadar terbawa arus oleh teori behaviorisme. 


BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan


Manusia dalam teori psikoanalisa disebut sebagai Homo Volens, artinya manusia berkeinginan, yakni makhluk yang perilakunya digerakkan oleh keinginan-keinginan yang terpendam dan kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia. 


Manusia menurut behaviorisme disebut sebagai homo Mechanicus, artinya manusia mesin. Mesin adalah suatu benda yang berkerja tanpa ada motif dibelakangnya. Mesin berjalan tidak karena adanya dorongan alam bawah sadar tertentu, ia berjalan semata-mata karena lingkungan sistemnya. 


Manusia menurut teori kognitif ini disebut sebagai Homo Sapiens, yakni manusia yang berfikir. Pusat perhatian teori kognitif adalah bagaimana manusia memberi makna kepada stimuli. 


Jika teori psikologi dan behaviorisme kurang menghargai manusia, karena dalam psikoanalisa, manusia dipandang hanya melayani keiginan bawah sadarnya, behaviorisme memandang manusia sebagai makhluk yang takluk kepada lingkungan, maka psikologi humanistik memandang manusia sebagai eksistensi yang positif dan menentukan.







DAFTAR PUSTAKA


Mubarok Ahamad, Psikologi Dakwah, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2008


Arifin, M. Psikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi. Bumi Aksara: Jakarta. 1990