Powered by Blogger.

Menjaga Nikmat, Belajar dari Kisah Nabi Musa

Kita tidak Akan Bisa Menghitung Nikmat Allah
Illustrasi : Google

Tidak  lama setelah Nabi Musa meninjau  orang Mesir Idaman Islam (dalam tafsir Ibn Katsir disebutkan orang Qitbi) yang berkelahi dengan orang Bani Israel Kemudian meninggallah orang Mesir tersebut setelah ditinju  olehnya. Setelah itu Nabi Musa langsung sadar apa yang telah dilakukan dan Dampak yang bakal diterima olehnya.

Nabi Musa berkata, "Ini adalah perbuatan setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata. Musa berdoa, Ya Rabbku sesunggunya aku telah menganiaya diriku sendiri, karena itu ampunilah aku'. Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah. Dialah yang Maha Pengampun  lagi Maha Penyayang." (Q.S. Al-Qashash [28]. 16)

Apa yang dilakukan oleh Nabi Musa wajar, jika dipandang dari perpektif orang Bani Israil, karena Nabi Musa melakukannya dalam rangka membantu pria Bani Israel, karena Nabi Musa melakukannya dalam rangka membantu pria Bani Israil. pada saat yang sama secara nyata , Fir'un adalah pemimpin yang otoriter, zalim dan tidak berperilaku kemanusiaan. Jadi wajarlah Nabi Musa membantunya. 

Tetapi, membunuh tanpa proses pembuktian melalui mekanisme hukum yang semestinya, tentu bukan perbuatan yang dibenarkan. Oleh karena itu, seketika Nabi Musa Sadar, maka langsung menyatakan bahwa apa yang telah terjadi seharusnya benar-benar dijauhi. 

Menyadari itu semua, Nabi Musa langsung bertekad untuk tidak tergesa-gesa melakukan apa pun yang belum jelas. Nabi Musa berdoa, " Ya Rabbku, demi nikmat yang telah engkau anugerahkan kepadaku, maka aku tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa," ( QS. Al-Qashash [28]: 17).

Ibn katsir menerangkan yang dimaksud dengan "nikmat" oleh Nabi Musa Adalah mengemban amanah sebagai seorang Nabi, suatu derajat yang paling tinggi dikalangan manusia. 

Kisah tersebut memberikan  ibrah kepada kita bahwa segala nikmat yang telah Allah berikan, baik  berupa kecerdasan, pangkat dan jabatan, maupun keberlimpahan harta dan kekayaan tidak semestinya digunakan untuk memberikan bantuan atau pertolongan kepada siapapun yang melakukan perbuatan dosa. Baik itu orang yang sekelompok, separtai, maupun sekeluarga seharusnya tidak diperlakukan istimewa apabila terbukti berbuat dosa dan aniaya. Tapi, gunakanlah segala nikmat itu untuk menolong agama Allah dan membela orang-orang yang benar dan tertindas. 

Demikian pula halnya dengan nikmat sehat dan nikmat waktu, seharusnya dijaga dan digunakan sepenuhnya untuk beramal sholeh, menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Bukan sebaliknya.

Dan, yang tidak kalah penting adalah menjaga nikmat ilmu. "pada hari berbangkit kelak, akan diseret orang yang berilmu, lalu dilemparkan ke dalam api neraka. isi perutnya akan terburai dan ia akan berputar-putar bersama isi perutnya seperti seekor keledai mengelilingi gilingan gandum. Para penduduk neraka bergerak mengitarinya sambil bertanya, ' Mengapa engkau bisa sampai seperti ini ?' Jawabnya, ' Saat di dunia, aku menyuruh manusia melakukan kebaikan, akan tetapi justru aku sendiri tidak mengerjakannya. Aku juga melarang kejatan, akan tetapi aku sendiri melakukannya. " (HR Bukhari).

Sumber :  Republika. 
Oleh : IMAM NAWAWI